Saturday, May 30, 2009

Koalisi dan Hukum Besi Oligarki

Tayangan di televisi yang menyorot debat partai politik (parpol) tak beda dengan debat kusir. Tanpa ujung dan tanpa substansi. Tokoh politisi yang cakap bicara ternyata tak cakap membuat solusi bagi rakyat. Akhirnya, semakin mereka umbar janji, semakin rakyat muak.
Janji politisi adalah idealisme yang seumur jagung dan berakhir begitu mereka berkuasa. Parpol yang merupakan organisasi modern yang harus ada dalam negara demokrasi kenyataannya semakin melupakan fungsi agregasi dan artikulasi kepentingan rakyat. Parpol hanya ramai-ramai mengejar kemenangan pemilu, alias ingin berkuasa.

Suka atau tidak suka, ketika berkuasa mereka menjadi sebuah kelas yang memaksakan tatanan atas kelas masyarakat lainnya. Ini keniscayaan karena pemerintah adalah organisasi politik milik sekelompok orang minoritas, dan tidak pernah benar-benar mewakili kepentingan mayoritas. Justru parpol dan negara (pemerintah), yang dianggap sebagai bentuk organisasi paling demokratis malahan mengajarkan oligarki, yakni sebuah pemerintahan oleh sekelompok orang yang berwatak menindas atau memaksakan kehendak. Kelompok terpilih menindas pemilih.
Oligarki menjadi hukum besi, tanpa peduli watak kelas terpilih, apakah nasionalis, sosialis, atau agamis. Oligarki selalu muncul menjadi salah satu wajah demokrasi, dan selalu ada di setiap suksesi. Oligarki akan ditentang oleh para idealis yang berteriak menuntut perubahan. Revolusi oleh mayoritas yang digerakkan oleh kelompok idealis adakalanya berhasil menjungkalkan penguasa dari kursi pemerintahan, tetapi kelompok idealis juga akan bermetamorfosis menjadi kelompok oligarki baru. Jadi pemilu tak lebih hanya sebagai pergantian tentang siapa yang akan mewarisi gaya oligarki lama. Seperti pepatah Italia, dirigen boleh berganti tetapi musik tetap sama.

Inilah yang membuat rakyat enggan ikut pemilu. Apapun partai yang mereka pilih, hasilnya tak jauh beda. Partai oposisi maupun penguasa sama saja, wajah oligarkinya mengenyahkan kepentingan rakyat. Lihat saja, bagaimana kebutuhan atas pendidikan dan kesehatan gratis tidak benar-benar terwujud ketika rakyat manaruh harapan pada partai yang kemudian berkuasa. Penjelasannya, karena partai menjadi milik sedikit orang yang berada dalam lingkaran oligarki, sebut saja misalnya dewan pimpinan pusat. Lingkaran itulah yang membuat keputusan dan kebijakan, tak peduli keinginan dan kepentingan pemilihnya.

Semakin jauh, demokrasi seperti kehilangan bentuk aslinya. Dari rakyat dan untuk rakyat hanya merepresentasikan sistem perwakilan yang juga oligarkis. Parlemen tidak butuh mencari tahu keingingan rakyat atau pemilihnya sebelum bersidang tentang masalah yang menyangkut nasib rakyat. Mereka cukup berkonsultasi dengan partainya masing-masing, bernegosiasi dan berkoalisi dengan partai lain tanpa perlu tahu apakah pemilihnya setuju atau tidak. Wakil rakyat tidak pernah benar-benar sebagai wakil rakyat yang memilih mereka, tetapi hanya sebagai wakil parpol. Akhirnya garis kepentingan rakyat dengan parlemen dan parpol putus.
Suara parpol bukan lagi suara pemilih, dan suara parlemen bukan suara rakyat. Parpol yang mengaku membela kepentingan orang kecil, kenyataannya membela konglomerat. Atau parpol yang membela kaum proletar dan petani kenyataan kepercayaan rakyat terhadap parlemen dan parpol bisa jatuh. Angka golongan putih (golput) meningkat.

Mata rantai berikutnya adalah pemerintahan dijalankan oleh minoritas, karena pemilu lebih sering dimenangi kelompok yang tidak dikehendaki rakyat. Ambil saja contoh, hanya 60 persen dari pemilih yang menggunakan suaranya, 40 persen adalah golput. Sebuah parpol atau pasangan presiden dan wakilnya yang menang hanya mengantongi suara 30 persen dari jumlah suara. Artinya, pemenang pemilu bukan suara mayoritas. Di sini hukum besi oligarki meletakkan mata rantai utama pada gejala kemerosotan demokrasi oleh minoritas yang menindas mayoritas.
Jika mencermati persoalan kepartaian mutakhir terkait koalisi, jelas sekali hukum besi oligarki ini tak bisa dipungkiri melekat pada partai. Lihat saja, bagaimana para pengurus PKS yang gencar menggugat pencalonan Boediono sebagai cawapresnya SBY, akhirnya harus “dipaksa” untuk menerima keputusan SBY hanya sesaat setelah Presiden PKS bertemu SBY. Apa yang terjadi? Jelas, keputusan PKS bukanlah keputusan kader dan konstituen, melainkan keputusan oligarkis para petinggi partai saja. Jadi tak heran jika, di daerah banyak kader PKS yang mengalihkan dukungannya dari SBY-Boediono, karena cawapres yang dianggap tidak mewakili umat. Singkatnya, aspirasi para kader dan konstituen partai tak sama dan tak dilibatkan dalam kebijakan partai.

Contoh lain hukum besi oligarki yang tak kalah gamblang adalah membelotnya beberapa pengurus dan kader dari PAN, PPP, dan PBB keluar dari koalisi Partai Demokrat. Mengapa? Lagi-lagi adalah perbedaan ekspektasi politik antara massa partai di bawah dengan pengurus pusat, yang berakibat keputusan partai dengan sendirinya berbeda dengan sikap massa. Tidak diragukan lagi, keputusan koalisi adalah keputusan petinggi partai dalam lingkaran oligarkis, bukan kehendak politik dari massa. Jadi, wajar saja, jika partai sebagai pilar demokrasi, sesungguhnya tidak pernah benar-benar bersikap demokratis. Karenanya, hitung-hitungan jumlah persentasi suara partai koalisi tak bisa menjadi jaminan untuk memenangkan pilpres, karena yang memilih sesungguhnya adalah rakyat, bukan sekadar pengurus partai. (AS)

Wednesday, May 27, 2009

Neoliberal versus Ekonomi Kerakyatan

Wacana perdebatan antara pasangan capres dan cawapres seputar isu ekonomi neoliberal semakin membingungkan publik awam. Ekonomi neoliberal, oleh sebagian lawan politik incumbent, dianggap sebagai biang kemiskinan dan pengangguran di Indonesia. Karenanya, haruslah diganti dengan ekonomi kerakyatan. Persoalannya menjadi rumit, karena secara umum visi ekonomi ketiga pasang capres tak beda. Lalu, terlepas dari jargon, sebenarnya siapa yang pro-neoliberal dan siapa pro-ekonomi kerakyatan?

Neoliberal adalah watak pembangunan ekonomi yang mengagungkan kebaikan pasar, tanpa perlu campur tangan pemerintah. Neoliberal, sebagian pakar studi pembangunan menyebutnya sebagai mahzab Kanan Baru, diadopsi dan diberlakukan secara paksa hampir di semua negara berkembang pada awal 1980-an. Watak pembangunan ekonomi ini menggantikan ekonomi Keynesian yang menekankan pada peran negara untuk mengintervensi pasar yang lebih dikenal sebagai wacana pembangunan statis. Keynes dan pengikutnya dipersalahkan oleh pendukung neoliberal maupun kaum monetaris, karena krisis dan inflasi tinggi yang melanda dunia pada tahun 1970-an. Inflasi dipandang oleh penentang ekonomi Keynesian, seperti Fredrich Hayek, sebagai dampak ekspansi uang akibat dari kebijakan negara menutupi pengeluaran dengan mencetak uang, dan sekaligus akibat dari upah tinggi.

Neoliberal, menurut Robert Cox, berbeda dari pendahulunya, liberal klasik abad ke-19. Neoliberal tidaklah benar-benar melepaskan peran negara. Rezim itu justru ditandai dengan peran negara dalam menyusun kebijakan jaring pengaman bagi rakyat yang tidak diuntungkan oleh persaingan pasar. Jadi, kebijakan yang kelihatannya pro-poor, pada hakekatnya justru semakin memperjelas bahwa pemerintah menganut sistem neoliberal. Bantuan pemerintah kepada rakyat miskin bukan sebagai kebijakan yang mandiri, melainkan sebagai konsekuensi pemerintah menganut manajemen pasar yang memang dari awal memiliki cacat bawaan yakni tidak mampu menciptakan pemerataan. Singkatnya, kebijakan pro-poor adalah bukti kegagalan rezim neoliberal yang mampu mendorong pertumbuhan, tetapi tidak berhasil menciptakan kesejahteraan bagi semua khalayak. Anehnya, dalam kampanye, kebijakan pro-poor ini malah justru diagungkan sebagai senjata capres agar tidak anggap sebagai neoliberal.
Hal yang sering terlupakan adalah, agenda politik neoliberal adalah menguatkan peran negara dalam menciptakan regulasi dalam memfasilitasi modal internasional, sehingga ujung-ujungnya menciptakan negara kuat dan masyarakat sipil yang lemah. Karena, negara harus mampu mengatasi setiap perlawanan rakyat yang anti neoliberal.

Lalu bagaimana dengan ekonomi kerakyatan? Ekonomi kerakyatan adalah watak pembangunan ekonomi yang berbeda dari laissez faire maupun ekonomi komando. Mohammad Hatta, meletakkan dasar ekonomi kerakyatan ini pada gagasan “menciptakan kesejahteraan umum” yang pilarnya adalah pasal 33 UUD 1945. Ekonom pendukung mahzab ini di Indonesia di antaranya (alm) Prof Mubyarto, Kwik Kian Gie, Revrisond Baswir, Hendri Saparini, dan Ichsanudin Noorsy. Mereka yakin, ekonomi yang diserahkan kepada pasar yang digerakan oleh rezim WTO, IMF, dan World Bank, selamanya tidak akan memberikan kesejahteraan bagi rakyat miskin. Lantas, apakah ekonomi kerakyatan yang kini digembar-gemborkan oleh para capres benar-benar pro-rakyat atau neoliberal yang dibungkus dengan cara lain? Mencermati visi ekonomi ketiga capres, saya kira, watak pembangunan ekonomi Indonesia tidak akan banyak berubah meskipun berganti presiden. (AS)