Wednesday, May 27, 2009

Neoliberal versus Ekonomi Kerakyatan

Wacana perdebatan antara pasangan capres dan cawapres seputar isu ekonomi neoliberal semakin membingungkan publik awam. Ekonomi neoliberal, oleh sebagian lawan politik incumbent, dianggap sebagai biang kemiskinan dan pengangguran di Indonesia. Karenanya, haruslah diganti dengan ekonomi kerakyatan. Persoalannya menjadi rumit, karena secara umum visi ekonomi ketiga pasang capres tak beda. Lalu, terlepas dari jargon, sebenarnya siapa yang pro-neoliberal dan siapa pro-ekonomi kerakyatan?

Neoliberal adalah watak pembangunan ekonomi yang mengagungkan kebaikan pasar, tanpa perlu campur tangan pemerintah. Neoliberal, sebagian pakar studi pembangunan menyebutnya sebagai mahzab Kanan Baru, diadopsi dan diberlakukan secara paksa hampir di semua negara berkembang pada awal 1980-an. Watak pembangunan ekonomi ini menggantikan ekonomi Keynesian yang menekankan pada peran negara untuk mengintervensi pasar yang lebih dikenal sebagai wacana pembangunan statis. Keynes dan pengikutnya dipersalahkan oleh pendukung neoliberal maupun kaum monetaris, karena krisis dan inflasi tinggi yang melanda dunia pada tahun 1970-an. Inflasi dipandang oleh penentang ekonomi Keynesian, seperti Fredrich Hayek, sebagai dampak ekspansi uang akibat dari kebijakan negara menutupi pengeluaran dengan mencetak uang, dan sekaligus akibat dari upah tinggi.

Neoliberal, menurut Robert Cox, berbeda dari pendahulunya, liberal klasik abad ke-19. Neoliberal tidaklah benar-benar melepaskan peran negara. Rezim itu justru ditandai dengan peran negara dalam menyusun kebijakan jaring pengaman bagi rakyat yang tidak diuntungkan oleh persaingan pasar. Jadi, kebijakan yang kelihatannya pro-poor, pada hakekatnya justru semakin memperjelas bahwa pemerintah menganut sistem neoliberal. Bantuan pemerintah kepada rakyat miskin bukan sebagai kebijakan yang mandiri, melainkan sebagai konsekuensi pemerintah menganut manajemen pasar yang memang dari awal memiliki cacat bawaan yakni tidak mampu menciptakan pemerataan. Singkatnya, kebijakan pro-poor adalah bukti kegagalan rezim neoliberal yang mampu mendorong pertumbuhan, tetapi tidak berhasil menciptakan kesejahteraan bagi semua khalayak. Anehnya, dalam kampanye, kebijakan pro-poor ini malah justru diagungkan sebagai senjata capres agar tidak anggap sebagai neoliberal.
Hal yang sering terlupakan adalah, agenda politik neoliberal adalah menguatkan peran negara dalam menciptakan regulasi dalam memfasilitasi modal internasional, sehingga ujung-ujungnya menciptakan negara kuat dan masyarakat sipil yang lemah. Karena, negara harus mampu mengatasi setiap perlawanan rakyat yang anti neoliberal.

Lalu bagaimana dengan ekonomi kerakyatan? Ekonomi kerakyatan adalah watak pembangunan ekonomi yang berbeda dari laissez faire maupun ekonomi komando. Mohammad Hatta, meletakkan dasar ekonomi kerakyatan ini pada gagasan “menciptakan kesejahteraan umum” yang pilarnya adalah pasal 33 UUD 1945. Ekonom pendukung mahzab ini di Indonesia di antaranya (alm) Prof Mubyarto, Kwik Kian Gie, Revrisond Baswir, Hendri Saparini, dan Ichsanudin Noorsy. Mereka yakin, ekonomi yang diserahkan kepada pasar yang digerakan oleh rezim WTO, IMF, dan World Bank, selamanya tidak akan memberikan kesejahteraan bagi rakyat miskin. Lantas, apakah ekonomi kerakyatan yang kini digembar-gemborkan oleh para capres benar-benar pro-rakyat atau neoliberal yang dibungkus dengan cara lain? Mencermati visi ekonomi ketiga capres, saya kira, watak pembangunan ekonomi Indonesia tidak akan banyak berubah meskipun berganti presiden. (AS)

No comments:

Post a Comment